Selasa, November 24, 2009

Rahasia Senyum Muhammad

dakwatuna.com -

Ketika Anda membuka lembaran sirah kehidupan Muhammad saw., Anda tidak akan pernah berhenti kagum melihat kemuliaan dan kebesaran pribadi beliau saw.

Sisi kebesaran itu terlihat dari sikap seimbang dan selaras dalam setiap perilakunya, sikap beliau dalam menggunakan segala sarana untuk meluluhkan kalbu setiap orang dalam setiap kesempatan.

Sarana paling besar yang dilakukan Muhammad saw. dalam dakwah dan perilaku beliau adalah, gerakan yang tidak membutuhkan biaya besar, tidak membutuhkan energi berlimpah, meluncur dari bibir untuk selanjutnya masuk ke relung kalbu yang sangat dalam.

Jangan Anda tanyakan efektifitasnya dalam mempengaruhi akal pikiran, menghilangkan kesedihan, membersihkan jiwa, menghancurkan tembok pengalang di antara anak manusia!. Itulah ketulusan yang mengalir dari dua bibir yang bersih, itulah senyuman!

Itulah senyuman yang direkam Al Qur’an tentang kisah Nabi Sulaiman as, ketika Ia berkata kepada seekor semut,

“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. An Naml:19

Senyuman itulah yang senantiasa keluar dari bibir mulia Muhammad saw., dalam setiap perilakunya. Beliau tersenyum ketika bertemu dengan sahabatnya. Saat beliau menahan amarah atau ketika beliau berada di majelis peradilan sekalipun.

فهذا جرير -رضي الله عنه- يقول -كما في الصحيحين-: ما حَجَبني رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- منذُ أسملتُ، ولا رآني إلا تَبَسَّم في وجهي.

Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah saw tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”

Suatu ketika Muhammad saw. didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad saw., sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad saw. menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”

Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.

يقول كعب -رضي الله عنه- بعد أن ذكر اعتذار المنافقين وحلفهم الكاذب: فَجِئْتُهُ فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ تَبَسَّمَ تَبَسُّمَ الْمُغْضَبِ، ثُمَّ قَالَ «تَعَالَ» . فَجِئْتُ أَمْشِي حَتَّى جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ.

Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka:

“Saya mendatangi Muhammad saw., ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”

Suatu ketika Muhammad saw. melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.

Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci, sampai akhir detik-detik hayat beliau.

- يقول أنس -كما في الصحيحين-: بينما الْمُسْلِمُونَ في صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بَهُمْ لَمْ يَفْجَأْهُمْ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ كَشَفَ سِتْرَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ وَهُمْ فِي صُفُوفِ الصَّلاَةِ. ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ!

Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad saw. yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”

Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-shabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!

Menyentuh Hati

Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan. Rasulullah saw. bersabda,

فقال: (وتبسمك في وجه أخيك صدقة) رواه الترمذي وصححه ابن حبان.

“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” At Tirmidzi dalam sahihnya.

Meskipun sudah sangat jelas dan gamblang petunjuk Nabi dan praktek beliau langsung ini, namun Anda masih banyak melihat sebagaian manusia masih berlaku keras terhadap anggota keluarganya, tehadap rumah tangganya dengan tidak menebar senyuman dari bibirnya dan dari ketulusan hatinya.

Anda merasakan bahwa sebagian manusia -karena bersikap cemberut dan muka masam- mengira bahwa giginya bagian dari aurat yang harus ditutupi! Di mana mereka di depan petunjuk Nabi yang agung ini! Sungguh jauh mereka dari contoh Nabi muhammad saw.!

Ya, kadang Anda melewati jam-jam Anda dengan dirundung duka, atau disibukkan beragam pekerjaan, akan tetapi Anda selalu bermuka masam, cemberut dan menahan senyuman yang merupakan sedekah, maka demi Allah, ini adalah perilaku keras hati, yang semestinya tidak terjadi. Wal iyadzubillah.

Pengaruh Senyum

Sebagian manusia ketika berbicara tentang senyuman, mengaitkan dengan pengaruh psikologis terhadap orang yang tersenyum. Mengkaitkannya boleh-boleh saja, yang oleh kebanyakan orang boleh jadi sepakat akan hal itu. Namun, seorang muslim memandang hal ini dengan kaca mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw. yang disunnahkan dan bernilai ibadah.

Para pakar dari kalangan muslim maupun non muslim melihat seuntai senyuman sangat besar pengaruhnya.

Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana Anda Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Manusia” menceritakan:

“Wajah merupakan cermin yang tepat bagi perasaan hati seseorang. Wajah yang ceria, penuh senyuman alami, senyum tulus adalah sebaik-baik sarana memperoleh teman dan kerja sama dengan pihak lain. Senyum lebih berharga dibanding sebuah pemberian yang dihadiahkan seorang pria. Dan lebih menarik dari lipstik dan bedak yang menempel di wajah seorang wanita. Senyum bukti cinta tulus dan persahabatan yang murni.”

Ia melanjutkan, “Saya minta setiap mahasiswa saya untuk tersenyum kepada orang tertentu sekali setiap pekannya. Salah seorang mahasiswa datang bertemu dengan pedagang, ia berkata kepadanya, “Saya pilih tersenyum kepada istriku, ia tidak tau sama sekali perihal ini. Hasilnya adalah saya menemukan kebahagiaan baru yang sebelumnya tidak saya rasakan sepanjang akhir tahun-tahun ini. Yang demikian menjadikan saya senang tersenyum setiap kali bertemu dengan orang. Setiap orang membalas penghormatan kepada saya dan bersegera melaksanakan khidmat -pelayanan- kepada saya. Karena itu saya merasakan hidup lebih ceria dan lebih mudah.”

Kegembiraan meluap ketika Carnegie menambahkan, “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, bahkan membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justeru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”

Betapa kita sangat membutuhkan sosialisasi dan penyadaran petunjuk Nabi yang mulia ini kepada umat. Dengan niat taqarrub ilallah -pendekatan diri kepada Allah swt.- lewat senyuman, dimulai dari diri kita, rumah kita, bersama istri-istri kita, anak-anak kita, teman sekantor kita. Dan kita tidak pernah merasa rugi sedikit pun! Bahkan kita akan rugi, rugi dunia dan agama, ketika kita menahan senyuman, menahan sedekah ini, dengan selalu bermuka masam dan cemberut dalam kehidupan.

Pengalaman membuktikan bahwa dampak positif dan efektif dari senyuman, yaitu senyuman menjadi pendahuluan ketika hendak meluruskan orang yang keliru, dan menjadi muqaddimah ketika mengingkari yang munkar.

Orang yang selalu cemberut tidak menyengsarakan kecuali dirinya sendiri. Bermuka masam berarti mengharamkan menikmati dunia ini. Dan bagi siapa saja yang mau menebar senyum, selamanya ia akan senang dan gembira. Allahu a’lam

Sisi "manusiawi" Muhammad SAW

dakwatuna.com -

Muhammad saw. menunjukkan perilaku unik dan mengagumkan dalam segala sisi hidupnya yang beragam. Dalam setiap jenak hidup, Muhammad saw. menjadi teladan mulya dan figur yang mengesankan. Muhammad saw. bukan hanya sebagai politikus an sich. Bukan sekedar panglima perang belaka. Bukan reformis sosial masyarakat saja. Bukan juga sekedar tokoh yang sisi manusiawinya menakjubkan. Ternyata semua sisi itu menyatu dalam pribadi Muhammad saw. yang sempurna. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyamai ketinggian akhlaknya. Tidak ada yang bisa menyamai kemulyaan kepribadiannya.

Kita akan menyuguhkan kepada pembaca bahwa Muhammad saw. insan yang memiliki sisi empati dan peduli sangat tinggi. Sisi empati dan peduli ini meliputi siapa saja yang ada di sekitanya: orang dekatnya, sahabatnya, keluarganya, putra-putranya, bahkan terhadap para musuh. Tidak hanya sampai di situ, Muhammad saw. berlaku sangat manusiawi terhadap hewan sekali pun.

Pertama, Sisi Manusiawi Muhammad Terhadap Sahabat-Sahabatnya

Muhammad saw. sangat mencintai sahabat-sahabatnya. Muhammad saw. menunjukkan kasih sayang kepada mereka. Muhammad saw. memanggil mereka dengan panggilang yang sangat mereka sukai. Muhammad saw. sigap memberi pelayanan kepada mereka. Bahkan Muhammad saw. berusaha menjadikan sahabatnya bisa rehat.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. memberi minum kepada para sahabatnya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw. hendaknya Engkau meminum terlebih dahulu? Rasulullah saw. Menjawab: “Pemberi minum suatu kaum, ia paling akhir meminum.”

Muhammad saw. sangat tidak suka ada sahabatnya yang memposisikan dirinya sebagaimana penguasa kaisar Romawi dan raja Persia. Para pengikut kedua penguasa itu memuja dan mengagungkan keduanya sangat berlebihan.

Suatu ketika ada seseorang masuk menemui Muhammad saw., tiba-tiba ia merasa merinding dihadapan keagungan Muhammad saw. Maka Muhammad saw berkata kepadanya: “Tenangkan dirimu, saya bukanlah seperti raja. Saya adalah putra dari seorang perempuan Quraisy yang juga memakan Qadid.”

Muhammad saw. selalu bertanya kabar sahabatnya dan memeriksa kondisi mereka. Muhammad saw. mengundang mereka yang tidak kelihatan. Muhammad saw. membesuk yang sakit. Mengantar dan mensholatkan yang meninggal.

ابن عمر – رضي الله عنهما – كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى الغداة أقبل عليهم بوجهه فقال: هل فيكم مريضا فأعوده ؟ فإن قالوا: لا؛ قال: هل فيكم جنازة أتبعها ؟ فإن قالوا: لا؛ قال: من رأى منكم رؤيا فليقصها علينا ؟!).

Dari Ibnu Umar ra, berkata: “Rasulullah saw. Jika shalat subuh, beliau menghadapkan tubuh dan kepalanya ke jama’ah. Rasulullah saw. bertanya: “Adakah di antara sahabat yang sakit, sehingga saya akan menjenguknya? Jika sahabat menjawab, “Tidak ada”. Rasulullah saw. bertanya lagi, adakah di antara kalian yang meninggal sehingga saya akan mengantarnya? Jika mereka menjawab, tidak ada. Rasulullah saw. bertanya, “Siapa di antara kalian yang mempunyai keinginan, maka ceritakanlah kepadaku?!”

Cinta Muhammad saw. kepada sahabat-sahabatnya sungguh sangat besar. Kasih sayang Muhammad saw. sungguh sangat luas diberikan kepada mereka. Sampai-sampai Muhammad saw. mencurahkan segala pikiran dan kepeduliannya untuk mereka. Muhammad saw. bersedih hati, mengalir air matanya dan tersayat hatinya jika mendengar ada sahabatnya yang menderita.

ففي رواية ابن عمر – رضي الله عنهما – (قال اشتكى سعد بن عبادة شكوى له فأتاه النبي صلى الله عليه وسلم يعوده مع عبد الرحمن بن عوف، وسعد بن أبي وقاص وعبد الله بن مسعود؛ فلما دخل عليه فوجده في غاشية أهله قال: قد قُضي – أي مات – ؟ قالوا: لا يا رسول الله؛ فبكى النبي صلى الله عليه وسلم فلما رأى القوم بكاء النبي بكوا، فقال: ألا تسمعون؟ إن الله لا يعذب بدمع العين، ولا بحزن القلب؛ ولكن يعذب بهذا وأشار بيده إلى لسانه).

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. berkata, “Suatu hari Sa’ad bin Ubadah mengadu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. membesuk kerumahnya bersama Abdur Rahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika Rasulullah saw. masuk ke dalam rumahnya, Rasulullah saw. melihat Sa’ad bin Ubadah dalam kondisi sangat sedih. Rasulullah saw. bertanya, Apakah sudah dipanggil Allah? Sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. menangis. Ketika para sahabat melihat Rasulullah saw. menangis, mereka menangis juga. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah kalian mendengar? Bahwa Allah tidak mengazab air mata yang mengalir, hati yang sedir. Akan tetapi Allah mengazab ini, sambil beliau mengisyarakatnya pada lisannya.”

Sisi Manusiawi Yang Seimbang

Kecintaan dan kasih sayang Muhammad saw. terhadap para sahabatnya tidak menjadikan beliau diam melihat kesalahan, tidak menegakkan kebenaran, dan tidak melaksanakan putusan qishas secara adil bagi mereka. Ya, Muhammad saw. manusia yang seimbang, beliau mengikat perasaan dan jiwanya dengan akal sehat dan kebenaran.

Inilah metode seimbang yang lazim bagi Muhammad saw., sampai pun terhadap perlakuan terhadap anggota keluarganya. Sungguh Muhammad saw. mencurahkan cintanya kepada istri-istrinya. Mencurahkan perhatian dan kehalusan perasaan terhadap mereka. Namun, Muhammad saw. tidak membiarkan cintanya kepada salah satu mereka menjadikan Muhammad saw. membenarkan permusuhan dan perilaku melampaui batas.

تقول عائشة – رضي الله عنها – « ما رأيت صانعة طعام مثل صفية بنت حي أهدت إلى النبي إناء فيه طعام وهو عندي” تعني النبي” فما ملكت نفسي أن كسرته فقلت: يا رسول الله ما كفارته؟ قال إناء بإناء وطعام بطعام».

Aisyah berkata, “Saya tidak melihat ada yang lebih baik masakannya, seperti Shafiyyah binti Hayyi. Shofiyyah menyuguhkan makanan kepada Muhamamd saw. di rumah saya. Melihat itu saya cemburu, tidak bisa menah diri sehingga saya pecahkan piring itu. Maka saya menyesal dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa balasan perilaku saya ini? Muhammad saw. Menjawab, “Makanan dibalas makanan, pering dibalas piring.”

Kedua, Sisi Manusiawi Muhammad Terhadap Istri-Istrinya

Muhammad saw. Berlimpah cinta terhadap istri-istrinya dan berdekat-dekat dengan mereka. Muhammad saw. melaksanakan apa saja yang menjadikan ikatan di antara mereka menjadi lebih kuat.

Adalah Aisyah ketika minum air gelas, maka Muhammad saw. meminum gelas tadi persis dibagian yang sama Aisyah minum. Muhammad saw. memberlakukan mereka dengan perlakuan sisi manusiawinya, yang difitrahkan Allah. Muhammad saw. tidak memaksakan diri dan membuat-buat.

Inilah sisi rahasia keagungan Muhammad saw. inilah titik tolak keteladanan sirah Muhammad saw., Beliau berada di masjid membaca Al Qur’an sedangkan kepalanya di julurkan ke kamarnya.

Boleh jadi Aisyah sedang haidh, maka Muhammad saw. memerintahkannya untuk memakai selendang, kemudian beliau melanjutkan bertelekan pada diri Aisyah.

Muhammad saw. mencium Aisyah, padahal beliau dalam kondisi shaum.

Dan di antara sikap lembut beliau, ketika Asiyah menyandarkan dagunya di pundak Muhammad saw. sehingga Aisyah melihat permainan perang orang-orang Habasyah di masjid.

Muhammad saw. berbaur dengan para istri-istrinya, dan memenuhi keinginan mereka, maka Muhammad saw. mengambil anak-anak perempuan kaum Anshar dibawa ke Asiyah untuk sama-sama bermain dengannya.”

Keterangan lain yang sering diriwayatkan adalah perlombaan lari antara Muhammad saw. dengan Asiyah. “Suatu kali Aisyah menang dalam lomba lari, lain kali Muhammad saw. mengalahkan Aisyah. Dan Muhammad saw. mengatakan: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan sebelumnya.”

Ketiga, Sisi Manusiawi Muhammad Terhadap Putra-Putranya

Muhammad saw. merendahkan lambungnya terhadap putra-putranya. Muhammad saw. memahami tabiat mereka masing-masing, dan karena itu Muhammad saw. mencium, membelai dan mendekap mereka. Muhammad saw. melayani mereka. Muhammad saw. sabar terhadap kekurangan mereka. Muhammad saw. tidak ingin memutus kegembiraan dan kebahagiaan mereka, meskipun beliau berada dalam kondisi menghadap Allah swt.:

وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم: « أن الحسن بن علي – رضي الله عنهما – دخل عليه وهو يصلي وقد سجد؛ فركب ظهره؛ فأبطأ في سجوده حتى نزل الحسن فلما فرغ قال له بعض أصحابه: يا رسول الله: قد أطلت سجودك، فقال: إن ابني قد ارتحلني فكرهت أن أعجله».

Muhammad saw. suatu ketika telah shalat. Hasan bin Ali ra, masuk mendekatinya. Ketika beliau sujud, Hasan naik di pundak Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. melamakan sujudnya, sehingga Hasan turun. Ketika Rasulullah saw. selesai shalat, sebagian shabat bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan Engkau lama dalam sujud? Beliau menjawab, “Sesungguhnya putraku telah naik di pundakku, maka saya tidak ingin mengusiknya dengan segera berdiri dari sujud.”

وعن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال: « قبل النبي الحسين بن علي وعنده الأقرع بن حابس فقال: إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحدا!! فنظر النبي إليه فقال: « من لا يَرحم لا يُرحم»،

Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nabi mencium Husain bin Ali, disampingnya ada Al Aqra’ bin Habis. Maka ia bertanya, “Saya mempunyai sepuluh anak, kesemuanya tidak saya cium! Maka Muhamamd saw. memandanginya seranya bersabda, “Barangsiapa tidak sayang, ia tidak disayang.”

وجاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: تقبلون الصبيان؟ فما نقبلهم!! فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أو أملك لك إن نزع الله من قلبك الرحمة».

Orang Arab Badui mendatangi Muhammad saw. seraya berkomentar, “Kalian mencium anak-anak kalian? Sedangkan kami sama sekali tidak melakukan demikian!! Maka Muhamamd saw. menjawab, “Atau apakah saya berkehendak bagimu agar Allah mencabut sikap kasih sayang dari hatimu?” Tentunya tidak!

Keempat, Sisi Manusiawi Muhammad Terhadap Musuhnya

Sisi sikap manusiawi yang sangat menakjubkan Muhammad saw. adalah pema’af, adil dan seimbang mensikapi permusuhan dan penentangan musuhnya. Meskipun Muhammad saw. mendapat perlawanan, tindak kedzaliman, konspirasi, baikot, isolasi bahkan upaya membunuhnya. Sedikitpun perilaku musuhnya itu tidak menyempitkan dadanya untuk memberi ma’af kepada mereka. Muhammad saw. masih menyapa mereka, bahkan beliau membuka lebar kedua tangannya seraya berdo’a:

(اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون)

“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

Hampir-hampir Muhammad saw. menyengsarakan dirinya karena banyak memikirkan mereka sepanjang waktu. Muhammad saw. berusaha untuk mengentaskan kehidupan meeka dari kekufuran dan menyelamatkan mereka dari api neraka di akhirat kelak. Al Qur’an menceritakan itu dalam Surat Al Akhfi:6

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu, karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).”

وعن عائشة – رضي الله عنها – قالت: لما كذب الرسول صلى الله عليه وسلم قومه أتاه جبريل – عليه السلام – فقال: إن الله تعالى قد سمع قول قومك لك، وما ردوا به عليك، وقد أمر ملك الجبال لتأمره بما شئت فيهم فناداه ملك الجبال وسلم عليه وقال: مرني بما شئت: أن أطبق عليهم الأخشبين فقال صلى الله عليه وسلم: «بل أرجو أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله ولا يشرك به شيئا»،

Diriwayatkan dari Aisyah ra, berkata: “Ketika Rasulullah saw didustakan oleh kaumnya, Jibril alaihis salam mendatanginya seraya berkata, “Sungguh, Allah swt mendengar ucapan kaummu tentang Engkau, mereka menginginkan kecelakaan bagimu. Dan Malaikat Gunung telah diperintahkan kepadamu, agar Engkau memerintahkan sesuka kehendakmu. Malaikat gunung menawarkan kepada Muhammad saw. “Perintahkan aku apa yang Engkau mau.” Agar aku menimpakan dua gunung besar itu kepada mereka. Maka Muhammad saw. menjawab, “Bahkan saya berharap agar Allah swt melahirkan dari keturunan mereka, orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”

Dunia sama sekali tidak pernah melihat ada seorang yang memiliki sarana kekuatan, sebab pembalasan, dan kebolehan menyiksa dan membunuh, namun ia mampu mengendalikan dirinya, dibanding Muhammad saw. yang justeru memaafkan musuhnya. Sabar terhadap perilaku buruk yang menimpanya. Bahkan Muhammad saw. membalas keburukan dengan kebaikan, dan kemulyaan.

جاء زيد بن سعنة اليهودي يتقاضى النبي صلى الله عليه وسلم دينا كان عليه فحبذ ثوبه عن منكبه، وأخذ بمجامع ثيابه وأغلظ له، ثم قال: إنكم يا بُني المطلب مطل؛ فانتهره عمر، وشدد له في القول، والنبي صلى الله عليه وسلم يبتسم!! ثم قال: إنا وهو كنا إلى غير ذلك أحوج منك يا عمر!! تأمرني بحسن الأداء، وتأمره بحسن القضاء ثم قال له: لقد بقي من أجله ثلاث، ثم أمر عمر أن يقضيه ماله، ويزيده عشرين لما روعه؛ فكان ذلك سبب إسلام زيد “رضي الله عنه”.

Adalah Zaid bin Sa’nah, seorang Yahudi yang menagih hutang kepada Muhammad saw. dengan kasar. Si Yahudi itu menarik selendang di pundak Muhammad saw. dengan sekencang-kencangnya yang menyebabkan leher mulia beliau tersayat kemerahan. Sambil menghardik ia berkata, “Kalian wahai keturunan Muthallib suka mengulur-ulur hutang. Melihat perilaku kasar dan tidak sopan itu, seketika Umar berdiri ingin memenggal kepalanya. Sambil tersenyum Muhammad saw. meminta kepada Umar, mengatakan kepada Muhammad saw. agar melunasi hutang dengan baik. Dan menyuruh Si Yahudi menagih dengan cara baik-baik. Kemudian Muhammad saw. berkata kepada Si Yahudi, Bagimu pengembalian tiga. Kemudian Muhammad saw. memerintahkan umar untuk melunasinya dan menambahinya dua puluh lagi. Perilaku yang demikian menyebabkan Si Yahudi itu masuk Islam. Radhiyallahu an Zaid.”

Kelima, Sisi Manusiawi Muhammad Terhadap Hewan

Muhammad saw. memberlakukan hewan sebagaiman binatang yang memiliki ruh, nyawa: merasakan lapar, dahaga, dan merintih karena letih dan sakit. Hewan merasakan apa yang dirasakan oleh manusia. Karena itu kita lihat Muhammad saw. merasa kesakitan dan merintih hatinya manakala melihat ada hewan yang merasakan sakit karena lapar.

فعن سهل بن الحنظلية – رضي الله عنه – قال : «مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على بعير قد لصق ظهره ببطنه؛ فقال: «اتقوا الله في هذه البهائم المعجمة فاركبوها صالحة وكلوها صالحة»،

Diriwayatkan dari Sahal bin Al Handhalah ra. berkata, “Rasulullah saw. suatu hari melewati seekor onta yang menahan beban berat di punggungnya. Maka Rasulullah saw bersabda, “Takutlah kepada Allah, dalam memperlakukan hewan ternak. Naikilah dengan cara baik dan beri makanlah dengan cara yang baik pula.”

Sungguh, agung pribadimu Ya Rasulallah, meskipun tanggung jawab Engkau besar, dan tugas Engkau banyak, namun Engkau tidak melalaikan untuk memperhatikan apa yang menimpa hewan. Engkau menasehati agar hewan itu diberlakukan baik dan dipelihara dengan baik.

Perasaanmu pernah terusik gara-gara melihat anak burung yang diceraikan dari ibunya. Abdullah bin Umar meriwayatkan: “Suatu hari kami bersama dengan Nabi Muhammad saw. dalam safar. Beliau saw. memenuhi hajatnya. Ketika itu beliau melihat ada dua burung kecil yang diambil dari ibunya. Maka Nabi saw. mengatakan, “Siapa yang menjadikan anak burung ini ketakutan? Kembalikan anak burung ini kepada ibunya.”

Peristiwa ini tidaklah mengherankan, karena kita teringat bukankah Allah swt pernah mencela salah satu Nabi-Nya, hanya gara-gara ia membakar rumah semut? Sedangkan Nabi kita saw. yang mengatakan demikian, tidak mungkin beliau saw. melanggarnya sendiri?

Ya Ilahi, betapa besar rasa kasih sayang Muhammad saw. Betapa agung teladan Muhammad saw., terhadap semut dan burung saja tidak menjadikan beliau melanggar kasih sayang, apalagi terhadap manusia, tentu tidak mungkin Muhammad saw. memaksakan kehendak dan mendzalimi mereka. Allahu a’lam

Indahnya cinta sang Ayah

Dakwatuna.com –

Lelaki tua itu berjalan tertatih. Hawa panas gurun membasuh seluruh tubuhnya. Di sampingnya berjalan seorang perempuan muda sambil menggendong bayinya yang masih merah. Mereka berjalan kaki menyusuri gurun pasir yang ganas dari Syam (Syria) hingga sampai di suatu daerah, Gunung Faran di Makkah. Lelaki tua itu menempatkan isteri dan anaknya di sebuah lembah gersang dan asing, lalu beliau pergi meninggalkan mereka berdua.

Sambil memegang baju suaminya, Si wanita muda memelas ingin pulang: “Ya Ibrahim, suamiku kemanakah gerangan engkau akan pergi meninggalkan kami, padahal kami tidak memiliki bekal apa-apa?”

Lelaki tua yang tidak lain adalah Sang Nabi diam tidak menjawab, karena sesungguhnya dia sendiri tidak tahu apa-apa kecuali hanya karena titah Allah semata, yang harus dia taati dan turuti selamanya. Siti Hajar semakin penasaran untuk mengetahui gerangan apa motivasi suaminya berbuat demikian, sampai akhirnya dia bertanya: “Allah-kah yang memberikan titah ini? Ya, jawab Ibrahim As singkat”. Sang isteri segera mengerti seraya berkata: “Pergilah wahai kanda, jika ini adalah perintah-Nya, pasti Dia tidak akan membiarkan kita.”

Subhanallah, sebuah nilai keimanan yang dalam, sebuah keyakinan yang sangat mengagumkan. Betapa tidak, seorang perempuan bersama anaknya yang masih disusuinya, berada di suatu tempat yang asing dan gersang, tanpa air dan makanan.. Namun demikian, mereka tunduk pada perintah Allah dan meyakini kebenaran janji-Nya akan datangnya jalan keluar. Betapa agung kedudukanya di sisi Allah Swt, betapa banyak kebaikan yang memancar dari kesalehannya.

Inilah sepenggal episode sesaat sebelum memancarnya air zam-zam dari balik bebatuan kering, sesaat sebelum sang bayi, Ismail As melepaskan dahaga.

Di sekelilingnya hanya terhampar padang pasir yang tandus. Wanita itu seperti tak berdaya. Tanpa putus asa dia pun berjalan mencari sebuah tempat yang lebih tinggi untuk melihat-lihat, adakah mata air untuk melepas dahaga sang anak dan juga dirinya. Dia pergi ke bukit Shafa, adakah orang yang melintas ke lembah tersebut ? lalu ia turun dari Shafa, ketika sampai di dataran paling rendah di antara dua bukit, dia semakin semangat untuk segera menuju bukit berikutnya, Marwah. Sesampainya di puncak Marwah, matanya yang awas segera bergerak melihat-lihat, adakah gerangan orang yang lewat? Lalu segera dia turun dari Marwah berlari menuju Shafa untuk melakukan hal yang sama. Lari menuruni bukit, ketika sampai di lembah, dia mempercepat larinya untuk naik menuju bukit yang lain, demikianlah Siti Hajar berulang-ulang melakukannya sebanyak tujuh kali. Diawali di bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah. “…karenanya orang-orang melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah”, sabda Rasulullah Saw.

Putus sudah, harapan Siti Hajar untuk bergantung kepada sesama makhluk dan tidak tersisa baginya kecuali berharap kepada sang Khaliq seraya memanjatkan doa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “engkau telah panjatkan doa memohon pertolongan”. Seketika sesosok malaikat tepat berada dekat kaki sang bayi sambil memukul-mukullkan tumitnya ke tanah hingga air yang penuh berkah memancar. Siti Hajar mulai mengumpulkan air dan memagarinya dengan pasir hingga air menggenang setinggi betis. “Sesungguhnya ketika Jibril menggerakkan kedua tumitnya untuk memencarkan air zam-zam, Ibu Ismail (Siti Hajar) segera mengumpulkan kerikil (agar air menggenang). Semoga Allah merahmati Siti Hajar, kalau saja dia tidak menghimpunnya, hanya akan menjadi mata air biasa (yang tercecer)”, sabda Rasulullah Saw.

Nabi Ibrahim As memanjatkan sebuah doa yang diabadikan dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 7:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.

Maka dengan kehendak Allah Swt, datanglah satu kabilah dari Yaman, lalu mereka menempati lembah tersebut. Siti Hajar dan puteranya, Ismail As, merasa tenang dengan kehadiran mereka, keduanya menjadi pelopor yang tinggal di tanah penuh berkah tersebut. Inilah buah dari kesabaran dan keyakinan yang kokoh, yang semestinya tertanam di hati orang-orang beriman.

Lepas dari ujian bagi Ibrahim As dan Siti Hajr beserta puteranya yang berhasil mereka lewati dengan sukses dengan menggapai ridha Alah Swt, episode ujian berikutnya telah menanti bahkan lebih berat. Ketika Ismail As hampir mencapai usia remaja tibalah perintah Allah Swt kepada Ibarahim untuk menyembelih sang putera yang didamba-damba. Kita bisa membayangkan, betapa senangnya Ibrahim As memiliki putera satu-satunya, putera yang diidam-idamkannya, putera yang terlahir secara ajaib karena lahir dari rahim nenek yang sudah renta. Betapa senangnya Ibrahim As dianugerahi sesuatu yang sangat didambakannya, apalagi sang putera menjelang remaja, sebagai tunas yang kelak menggantikan misi kenabiannya, keinginnanya memiliki anak ia adukan kepada Allah agar kelak risalahnya tidak mati sepeninggalnya.

Al-Quran mengisahkan secara dramatis dalam Surat Ash-Shaaffaat ayat 102
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.

Subhanallah ! keimanan sedalam apakah yang diperlihatkan oleh sang Nabi As, sebuah ketundukkan yang mengagumkan, suatu kepasrahan yang elegan. Ibrahim As, manusia lanjut usia yang terpisah dari keluarga dan sanak saudara sekian lama karena misi yang beliau emban, sang pengembara yang selamanya berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Tatkala di usia senja dianugerahi putera yang diidamkannya, sang putera yang sering ditinggalkan menginjak remaja, tersirat harapan besar sang pelanjut misi suci, tiba-tiba Sang Khaliq memberi perintah untuk menyembelih sang putera tercinta.

Sang Nabi dihadapkan pada dua pilihan sulit, apakah taat pada perintah Allah atau mengikuti rasa cintanya kepada sang putera ? Bukan pilihan yang mudah bagi manusia pada umumnya. Namun, naluri iman yang fitri membimbingnya untuk tunduk kepada titah sang Khaliq. Tanpa ragu sedikitpun, tanpa bertanya, kenapa ya Allah, Engkau menyuruhku untuk menyembelih puteraku satu-satunya, kenapa Engkau tidak memerintahkan yang lain? Ibrahim As bergeming untuk memenuhi perintah Allah Swt.

Dengan penuh ketulusan, sikap pasrah yang total, dengan penuh ketenangan sang Bapak memanggil puteranya seraya berkata: “Hai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi, dan engkau tahu mimpi seorang Nabi adalah benar adanya. Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihmu, fikirkanlah oleh mu, bagaimana menurutmu?

Sang Nabi tidak ingin merasa dirinya saleh tanpa menyertakan sang putera tercinta untuk merasakan tingkat ketundukkan dan kepasrahan yang tinggi dihadapan Allah. Sang putera harus tahu arti ketundukkan dan kepasrahan yang sebenarnya, karena kelak dia akan mengemban misi yang sangat berat. Ibrahim As tidak mengatakan: “Hai Ismail, ini perintah Tuhan, suka atau tidak kamu harus menaatinya!” Dengan pendekatan persuasif yang penuh keakraban dan rasa kasih sayang, sang bapak memberikan kesempatan kepada puteranya untuk merenungkan sesuatu sebelum dia mengikuti perintah sang bapak, “Bagaimana pendapatmu nak?”

Seperti dalam pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, Ibrahim As adalah seorang pendidik yang agung, tidaklah heran jika sang anak memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan bapak. Hanya melalui cerita mimpi sang Ayah, sang anak tahu ayahnya seorang Nabi dan dia tahu mimpi seorang Nabi adalah benar adanya. Tanpa ragu sedikitpun Isma’il As, putera Ibrahim As, bergeming seraya berkata: “Duhai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan, jika itu titah Allah, insya Allah aku siap untuk bersabar menjalankannya”. Subhanallah ! Tanpa diduga-duga oleh Ibrahim As, sang putera tercinta, Ismail As, dengan lantang, tegar, penuh kepasrahan dan keyakinan bersedia untuk disembelih oleh tangan bapaknya sendiri hanya karena ini adalah perintah Allah.

Ismail tunduk dan bersedia untuk disembelih bukan karena kepahlawanan, bukan karena ingin disebut pemberani, bukan pula sebuah aksi nekat yang tanpa pertimbangan. Yang dilakukannya adalah hanya mengikuti dan tunduk pada perintah Allah, karena dia yakin ini perintah Allah maka dia juga meyakini, Allah akan memberinya sesutu yang terbaik, dan yang terbaik bagi dirinya adalah bersikap sabar.

Tibalah saatnya eksekusi, Ibrahim As menuntun puteranya, Ismail As menuju Mina untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Tenyata, ada yang tidak senang dengan apa yang dilakukan Ibrahim As beserta puteranya, dialah Syaitan. Makhluk terkutuk ini merasa geram jika ada diantara hamba-hamba yang tunduk dan pasrah kepada Allah. Dialah Syaitan yang membangkang perintah Allah untuk bersujud kepad Adam As, meskipun hanya satu kali sujud. Dengan berbagai tipu daya dan muslihat Syaitan berupaya menggagalkan rencana Ibrahim As dan puteranya Ismail.

Syaitan berupaya menggoda di tiga lokasi yang berbeda. Dengan sigap, Ibrahim As melemparinya dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali. Syaitan lari, ke lokasi yang berada di tengah, Ibrahim As melemparinya lagi sebanyak tujuh kali, hingga akhirnya syaitan lari ke lokasi yang berikutnya, demikian pula Ibrahim As mengejar dan melemparinya dengan batu dan jumlah lemparan yang sama sampai akhirnya syetan lari tunggang langgang.

Dengan langkah pasti Ibrahim As bersegera melanjutkan rencana sucinya. Sesaat kemudian sang putera tercinta berbaring pasrah, sementara sang bapak dengan penuh kerelaan siap menghunuskan pedang menyembelihnya. Mereka bedua telah membuktikan kepada dunia tentang arti kepasarahan dan ketundukkan kepada Yang Maha Kuasa, sang ayah telah siap mengucurkan darah putranya, namun kehendak Allah di atas segalanya. Allah tidak akan membiarkan hambanya yang saleh ternoda jasadnya begitu saja, Allah tidak akan membiarkan hambanya yang taat lehernya bersimbah darah. Kesalehan, ketundukan dan kepasrahan mereka telah terbukti, mereka adalah hamba Allah yang sukses melewati ujian yang maha berat.

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui.” QS Annisa: 147

Bunda Hajar dan putera semata wayang Ismail As dalam diri keduanya kita dapatkan sifat-sifat kesalehan yang hakiki. hasil didikan suami dan ayah tercinta abul anbiya Ibrahim as

Idul Adha

dakwatuna.com –

Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.

Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.

Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.

Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt. mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail.

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.

Yang perlu dikritisi dalam hal ini, adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaafaah? Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam? Karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.

Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian.

Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya, mereka kembali berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallahu a’lam bishshawab.